Bab 1 — Awal Kesengsaraan
Di bawah terang bulan, sepasang kekasih saling berpelukan. Tubuh mereka saling mencari kehangatan, seolah berusaha menahan sesuatu yang sebentar lagi akan pergi. Udara malam terasa lembap, sunyi, hanya suara jangkrik menemani mereka.
Namun di tengah keheningan itu—
Dorrrr!
Suara ledakan memecah langit malam, menghapus segala keheningan yang tersisa.
---
Dua Puluh Tahun Lalu
Seorang anak kecil berusia enam tahun bernama Sahriansyah, atau biasa dipanggil Rian, hidup di sebuah pulau yang subur, dikelilingi kebun sawit dan dibelah oleh sungai besar. Desa itu sederhana, tapi damai. Sebagian besar warganya hidup dari alam—bertani, mencari ikan di sungai, lalu menjual hasilnya ke ibu kota kabupaten di seberang.
Rian tumbuh sebagai anak yang ceria dan pemberani. Ia paling senang bermain di sungai bersama teman-teman sebaya. Sore hari selalu menjadi waktu favorit: mereka akan melompat dari jembatan kayu, berenang menyeberangi sungai, atau saling menantang gaya terjun paling berani.
Meski masih kecil, Rian dan kawan-kawannya sudah sangat mahir berenang—kemampuan yang diwariskan turun-temurun di desa sungai itu.
Keberanian Rian tak lepas dari didikan sang kakek, mantan pejuang kemerdekaan yang keras namun penuh prinsip. Kakeknya pernah ikut berjuang di masa awal kemerdekaan, tetapi tak pernah menerima penghargaan apa pun. Rasa sakit hati itu semakin dalam saat ia ditolak menjadi anggota angkatan bersenjata hanya karena buta huruf. Sejak itu, ia meninggalkan kota besar, kembali ke kampung halaman, dan menikah dengan seorang perempuan desa—nenek Rian.
Semangat juang itu menurun ke anaknya, Hermansyah, ayah Rian. Berbeda dari sang kakek, Herman berhasil meraih impian menjadi aparat kepolisian. Tapi nasib berkata lain—baru dua tahun bertugas, ia keluar dari dinas karena suatu masalah yang tidak pernah dijelaskan. Setelah itu, ia bekerja sebagai penjaga keamanan di sebuah perusahaan tambang di daerah tersebut.
Sayangnya, pekerjaan itu pun tak bertahan lama. Ia dipecat setelah ketahuan menjalin hubungan dengan salah satu asisten pribadi bos besar perusahaan.
---
Sore itu, seperti biasa, Rian bermain di sungai bersama tiga sahabatnya: Dani, Agus, dan Supian.
“Ha! Hari ini pasti aku yang menang lagi!” teriak Dani sambil menepuk dada.
“Belum juga mulai udah sombong!” balas Rian sambil menyibak air. “Ayo kita buktikan. Hari ini aku yang sampai duluan ke seberang!”
Agus menimpali, “Iya! Orang sombong biasanya kalah, ha ha ha!”
“Biarin aja! Nyatanya kemarin aku yang menang,” Dani tertawa keras.
Supian mengangkat tangan, mencoba menenangkan. “Udah, jangan ribut. Aku hitung, ya! Satu… dua… tigaaa!”
Mereka terjun bersamaan. Air sungai yang dingin memercik ke segala arah, menyatu dengan tawa mereka. Dari kejauhan, Pak Ramli, seorang lelaki tua, duduk di tepi sungai sambil memancing. Ia selalu ada di sana setiap sore, mengawasi anak-anak desa bermain. Dulu cucunya meninggal tenggelam, dan sejak itu ia bertekad menjaga anak-anak lain agar tidak mengalami hal serupa.
Tak jauh dari sana berdiri pondok kecil tempat warga menaruh ikan hasil tangkapan sementara. Di situ, beberapa anak perempuan bermain karet gelang dan lompat tali. Di antara mereka ada Novianti, kakak Rian—lima tahun lebih tua darinya. Ia kerap mengawasi adiknya dari kejauhan, memastikan Rian tidak berbuat ceroboh.
---
Sore yang damai itu berubah tiba-tiba ketika seorang anak perempuan berlari ke arah Novianti. Nafasnya terengah.
“Novia! Ibumu nyuruh kamu dan adikmu pulang sekarang!”
Novianti terkejut. “Hah? Ada apa? Ibu nggak pernah nyuruh kami pulang waktu main.”
“Aku nggak tahu… tapi di rumahmu banyak orang berdatangan.”
Raut wajah Novianti langsung berubah. Ia menoleh ke arah sungai dan berteriak, “Rian! Cepat naik! Kita pulang!”
Rian, yang baru saja sampai di tengah sungai, menatap kakaknya dengan bingung. Tapi melihat wajah kakaknya yang tegang, ia segera berenang ke tepian dan mengambil sepedanya.
“Kak, kenapa? Belum senja,” tanyanya.
“Udah, jangan banyak tanya. Ibu yang nyuruh kita pulang,” jawab Novianti cepat.
Mereka segera mengayuh sepeda masing-masing. Sepanjang jalan, suasana terasa aneh. Beberapa warga juga terlihat tergesa ke arah yang sama—ada yang berlari, ada yang mengendarai motor. Debu jalanan naik, bercampur dengan bau tanah basah yang baru disiram hujan semalam.
Seratus meter menjelang rumah, Rian mulai melihat kerumunan. Suara orang-orang terdengar samar di antara gemerisik dedaunan sore.
“Kak… kenapa banyak orang di rumah kita?” bisiknya.
“Aku nggak tahu, Dek. Cepat!” Novianti mempercepat kayuhan sepedanya.
Begitu sampai, mereka melempar sepeda di halaman dan berlari masuk. Bau minyak kayu putih menyengat dari ruang tengah. Ibu mereka, Widya, menangis di pelukan ibu RT. Di sampingnya, sang nenek terbaring pucat. Seorang perempuan mengipasi wajahnya, sementara yang lain mengoleskan minyak di bawah hidungnya.
“Ma, ada apa?” tanya Novianti cemas.
Widya hanya menatap mereka, lalu memeluk kedua anaknya erat-erat. Suaranya serak dan bergetar.
“...Ayah dan kakekmu, Nak...”
Kalimat itu menggantung di udara. Setelah itu, hanya tangis yang terdengar.
Ketua RT datang menghampiri, suaranya pelan dan hati-hati.
“Maaf, Bu Widya… jenazah dibawa pihak kepolisian ke rumah sakit.”
“Kenapa harus dibawa, Pak?” Widya menatap tak percaya.
“Katanya… untuk diautopsi,” jawab sang RT pelan.
Novianti mulai menangis kecil. “Ma… itu jenazah siapa maksudnya?”
Ibu RT cepat-cepat menuntun Novianti dan Rian ke kamar.
“Kalian istirahat dulu, ya. Biar Mama yang jelaskan nanti,” katanya lembut.
Di kamar, Rian hanya bisa diam, tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sementara Novianti mulai gelisah. Ia memeluk adiknya, mencoba terlihat tenang, padahal dadanya sendiri bergetar hebat.
Dari balik jendela, terdengar suara beberapa pria berbicara di luar rumah.
“Aku masih nggak percaya yang terjadi,” ucap salah satu.
“Iya, nggak mungkin Pak Ridwan dan Pak Herman begitu,” sahut yang lain.
“Keterangan dari Pak Yono juga aneh,” tambah seorang lagi. “Katanya dia nggak sengaja lewat dan lihat mereka ribut.”
“Pak Yono? Yang baru pindah dua minggu lalu itu?”
“Iya. Tapi aku nggak yakin dia jujur.”
“Betul. Dari awal aku udah curiga, jangan-jangan dia anteknya si—” suara itu terhenti, seolah nama yang ingin disebut terlalu berbahaya.
“Saksi yang bisa dipercaya cuma Pak Imran,” kata seorang bapak lain. “Dia sering bantu Pak Ridwan di sawah.”
“Terus, Pak Imran ke mana?”
“Dibawa ke rumah sakit. Luka parah. Kena sabetan parang waktu mau melerai.”
Salah satu dari mereka bertanya cepat, suaranya terdengar panik.
“Dibawa ke rumah sakit mana?”
“Aku nggak tahu pasti... kenapa kamu kelihatan panik begitu?”
“Udah, ikut aku. Nanti aku jelaskan di jalan,” jawabnya tergesa, lalu mereka bertiga pergi meninggalkan rumah.
Setelah suara langkah mereka hilang, Novianti menutup tirai perlahan. Air matanya jatuh tanpa suara. Ia tak ingin adiknya tahu seberapa parah perasaan yang sedang menghancurkannya. Ia hanya menarik napas dalam, lalu berbisik pelan,
“Tidur, Dek… semuanya pasti baik-baik saja.”
Namun jauh di dalam hatinya, ia tahu—malam itu adalah awal dari sesuatu yang tidak akan pernah sama lagi.