BAB 1 – Kepulangan yang Retak


Dua tahun.

Sudah hampir dua tahun aku tidak menghirup udara Indonesia tanpa terburu-buru, tanpa beban visa, tanpa pikiran lembur yang menumpuk di pabrik tempatku bekerja di Jepang. Dua tahun yang terasa lebih seperti delapan tahun - melelahkan, padat, tapi juga penuh harapan yang kubawa pulang dalam ranselku malam ini.


Namaku Muhammad Afkar Taufan, tapi semua orang memanggilku Afkar.

Dan malam ini, saat kakiku turun dari pesawat di Bandara Internasional di Kota ini, seluruh rasa lelah itu seperti tertinggal di belakang pintu pesawat. Yang tersisa hanya degup tak beraturan di dada.


Bukan karena rindu rumah.

Bukan.


Tapi karena kota ini… kota yang kugelari diam-diam sebagai rumah keduaku.

Kota tempat aku jatuh cinta untuk pertama kali dalam hidupku.

Kota tempat perempuan bernama Melisa Candriawati memberiku alasan untuk bermimpi lebih tinggi dari pada yang pernah kubayangkan.


Melisa… namanya saja sudah cukup membuat nafasku tercekat.


Dia yang membiayai seluruh keberangkatanku ke Jepang.

Dia yang memaksaku untuk berani mengejar negeri impian itu, bahkan ketika aku, dengan segala ego dan rasa tidak pantas sebagai laki-laki yang saat itu tak punya apa-apa, sempat menolak bantuannya.

Dia yang tersenyum saat aku akhirnya pasrah menerima uluran tangannya.

Dia yang menangis saat aku melambaikan tangan di gerbang keberangkatan dua tahun lalu.


Dan malam ini aku kembali dengan rindu yang nyaris tak tertampung.



Aku tidak langsung pulang ke kampung halaman.

Tidak.


Aku sengaja memesan hotel kecil yang tak jauh dari pusat kota. Rencananya, aku ingin sehari menikmati kota ini, mengelilinginya, meresapi tiap sudutnya, sebelum besok pagi aku memberi kejutan pada Melisa dengan datang langsung ke rumahnya.


Aku ingin melihat ekspresinya.

Aku ingin melihat matanya yang dulu selalu berbinar saat menatapku.

Aku ingin merasakan sekali lagi pelukan yang dua tahun ini hanya terasa di mimpi.


Mungkin karena itu, setelah check-in, aku segera menyewa motor dari tukang ojek pangkalan yang nongkrong di depan hotel. Motor tua, knalpot sedikit bising, tapi cukup untuk menemaniku bernostalgia.


Angin malam menampar wajahku, menyegarkan dan hangat sekaligus. Lampu kota, bau gorengan dari pedagang kaki lima, hiruk pikuk kendaraan… semuanya terasa sama. Sama seperti pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini sebagai mahasiswa baru dengan mimpi seadanya.


Aku melewati universitas tempat aku dan bertemu Melissa.

Tempat kami pertama kali duduk berdampingan di perpustakaan, tanpa sengaja berebut buku yang sama.

Tempat pertama kali aku memberanikan diri menatap matanya.


Hanya kenangan - namun terasa hidup kembali malam ini.


Dan entah kenapa motor tuaku berhenti di depan sebuah kafe kecil yang lampunya masih hangat menyala.


Kafe itu.


Tempat aku menyatakan cinta padanya.

Tempat Melisa menangis sambil tertawa, memukul lenganku pelan sambil berkata aku bodoh karena menunggu terlalu lama untuk menyadari perasaanku.


Aku tersenyum. Dadaku memanas oleh kerinduan.


Hingga tiba-tiba senyum itu hilang seketika.



Saat aku memperhatikan ke dalam, melewati jendela kaca yang buram oleh uap kopi, aku melihat seseorang. Sosok perempuan duduk dengan anggun di salah satu meja dekat jendela. Rambut hitam panjang. Bahu yang kukenal. Cara ia menunduk, cara ia memainkan gelas—semuanya sama.


Melisa.


Jantungku langsung melompat.

Tanpa sadar aku melepas helm dan turun dari motor.


Aku ingin memeluknya dari belakang.

Aku ingin membuat kejutan malam ini saja, bukan besok pagi.


Tapi langkahku terhenti - kaku - begitu seseorang duduk di hadapannya.


Seorang pria.


Aku memicingkan mata, memastikan aku tidak salah lihat.

Tapi tidak. Lelaki itu duduk tepat di depannya, mencondongkan tubuh sedikit, berbicara dengan wajah yang tampak… hangat. Terlalu hangat.


Melisa tersenyum kecil, senyum yang dulu hanya untukku.

Jari-jari mereka hampir bersentuhan di atas meja.


Aku merasa ada sesuatu menghantam perutku keras - seperti seseorang meninju dari dalam.


Aku mundur selangkah.

Lalu bersembunyi di balik dinding luar kafe, mengintip dari jarak yang cukup untuk melihat tanpa terlihat.


Tubuhku kaku.

Napasku sesak.


“Apa… apa yang aku lihat ini?” bisikku pada diri sendiri.

“Tuhan… siapa lelaki itu?”


Percakapan mereka terlalu pelan untuk kudengar, tapi mata tidak bisa dibohongi.

Itu bukan percakapan biasa.

Itu percakapan dua orang yang dekat.

Terlalu dekat.


Beberapa menit berlalu seperti siksaan panjang.

Lalu keduanya berdiri. Melisa merapikan rambutnya, lelaki itu dengan refleks membantu mengambilkan tasnya.


Mereka keluar kafe bersama.


Aku tidak sempat berpikir, aku hanya mengikuti.



Mobil hitam keluaran terbaru berhenti di depan kafe. Lelaki itu membukakan pintu untuknya.

Melisa masuk.

Lalu mobil melaju perlahan.


Dan aku? Aku menyalakan motor, mengikuti dari kejauhan.


Hanya bunyi knalpot dan debar jantungku yang menemani perjalanan yang terasa seperti mimpi buruk itu.


Beberapa ruas jalan kulalui tanpa sadar. Lampu kota yang tadinya terasa hangat kini terasa seperti sorot lampu panggung yang mempermalukanku. Malam yang tadinya menyenangkan berubah menjadi dingin.


Lalu mobil itu memperlambat lajunya.

Mengambil arah kiri.

Masuk ke halaman sebuah bangunan besar.


Hotel berbintang lima.

Pintu kaca otomatis membukakan jalan bagi dua sejoli itu.


Aku berhenti mendadak.

Tanganku gemetar di stang motor.

Nafasku berhenti.


Melisa turun dari mobil… bersama lelaki itu.

Dan lelaki itu menggandeng tangannya masuk ke lobi hotel.


Menggandeng.

Dengan nyaman.

Dengan cara yang hanya dilakukan oleh dua orang yang saling memiliki.


Aku hampir tidak merasakan tubuhku lagi.

Seolah seluruh darah mengalir turun ke tanah dan meninggalkanku berdiri sendirian di halaman hotel itu.


Tidak mungkin…


Ini tidak mungkin…


Dua tahun aku menahan rindu.

Dua tahun aku menabung, menahan dingin musim salju, menahan sengatan panas musim panas, menahan jarak, menahan semua godaan hanya untuk tetap setia.

Dua tahun aku hidup dari pesan-pesan singkat yang kadang terjawab, kadang tidak—tapi selalu kupercaya.


Dan sekarang…

Yang kulihat adalah Melisa berjalan masuk hotel bersama lelaki lain, tangannya digenggam seolah hubungan mereka sudah terbiasa.


Suara knalpot motor di belakangku membuatku tersadar.

Namun aku tetap berdiri di tempat, terpaku, seolah seluruh dunia menelanku bulat-bulat.


“Apa yang terjadi selama aku tidak ada?”

Pertanyaan itu menggema keras di kepalaku.


Malam itu, kota yang penuh kenangan berubah menjadi kota yang sepenuhnya asing.

Dan hatiku… untuk pertama kali sejak lama… terasa kosong.


Kosong sekali.