Bab 1 – Lelaki di Gang Sempit


Gang itu sempit, hanya cukup untuk dua motor berpapasan dengan hati-hati. Di kedua sisinya, rumah-rumah petak berdiri rapat, dindingnya bercat pudar, beberapa dengan retakan besar yang tak lagi disembunyikan cat baru. Atap seng mengilap ketika pagi, tapi berubah menjadi drum bising setiap kali hujan turun. Di ujung gang, ada sebuah rumah mungil dengan pintu kayu yang warnanya sudah pudar jadi cokelat kusam. Di situlah Ilham tinggal.

Ilham adalah lelaki berusia tiga puluh dua tahun, bertubuh pendek—bahkan banyak anak SMA sekarang sudah melampauinya. Bahunya agak membungkuk, wajahnya tidak istimewa, tapi matanya menyimpan tatapan yang sulit ditebak; seperti selalu waspada, namun juga lelah.

Hidupnya sederhana. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, ia duduk di kursi plastik biru yang sudah miring sebelah, di depan rumah. Di tangannya ada secangkir teh tawar hangat, dan di piring kecil, dua potong tempe goreng yang dibuat ibunya, Bu Nur. Suara ayam tetangga bercampur dengan derit gerobak sayur yang lewat di depan gang.

> “Ham, nanti jangan lupa, kulkas Bu Minah mau dicek. Katanya dinginnya berkurang,” ujar Bu Nur sambil melipat baju di teras.



> “Iya, Bu,” jawab Ilham pelan, lalu menyesap tehnya.



Pekerjaan Ilham adalah tukang servis barang elektronik—apa saja, mulai dari kipas angin yang mati, setrika yang tak panas, sampai televisi yang gambarnya bergaris. Pendapatannya tak menentu; kadang cukup untuk belanja sepekan, kadang hanya bisa beli beras dan telur. Tapi Ilham tak pernah mengeluh, setidaknya di depan ibunya.

Meski begitu, di dalam hati, ada perasaan getir yang tak pernah benar-benar hilang. Ia tahu dirinya berbeda. Ia bukan lelaki yang orang-orang harapkan untuk menjadi menantu idaman. Pendek, miskin, dan hidup di gang yang bahkan kurir paket pun sering bingung mencarinya.


---

Siang itu, saat ia baru selesai memperbaiki kipas angin milik tetangga, ibunya memanggil dari dalam rumah. Suaranya agak berbeda—tidak seperti biasanya ketika ia hanya ingin mengabarkan pesanan servis baru.

> “Ham, sini sebentar. Ibu mau ngomong.”



Ilham mengelap tangannya dengan lap kotor, lalu masuk ke rumah. Bu Nur duduk di kursi ruang tamu, memegang cangkir kopi. Wajahnya penuh ragu, tapi matanya ada kilatan yang sulit ditafsirkan.

> “Kamu masih ingat Bu Jamilah? Yang dulu sering beli beras sama Ibu waktu kamu kecil?”



Ilham mencoba mengingat. “Ingat, Bu. Yang warungnya di jalan besar itu kan?”

> “Iya. Nah, kemarin dia datang. Dia bawa kabar…” Bu Nur berhenti sebentar, meneguk kopinya. “Dia punya anak perempuan. Namanya Rara. Sekarang sudah pulang dari luar kota. Dan… dia mau menjodohkan Rara sama kamu.”



Ilham tertegun. Rasanya seperti seseorang baru saja menjatuhkan batu besar ke dalam dadanya. “Bu… serius? Sama aku? Yang itu? Yang… cantik itu?”

Bu Nur tersenyum, tapi bukan senyum percaya diri—lebih seperti senyum yang takut kecewa. “Iya. Katanya Rara gadis baik. Dia setuju untuk dikenalkan dulu. Ibu sih nggak mau berharap terlalu jauh, tapi…”

Ilham menggeleng cepat. “Bu, Rara itu… levelnya jauh di atas aku. Dia kuliah di luar kota, cantik, anak orang berada. Sedangkan aku…”

> “Ham, Ibu tahu kamu minder. Tapi siapa tahu… ini jalan dari Allah. Kita nggak tahu kalau belum mencoba.”



Ilham terdiam lama. Di kepalanya, bayangan Rara muncul samar. Ia ingat terakhir kali melihatnya, sekitar tujuh tahun lalu, di acara pernikahan anak tetangga. Rara saat itu mengenakan kebaya krem sederhana, tapi aura elegannya seperti memisahkannya dari kerumunan. Ia tertawa sopan saat mengobrol, dan bahkan cara ia mengucapkan salam membuat banyak lelaki melirik.

Dan sekarang… ia akan dijodohkan dengan wanita itu?


---

Hari pertemuan pun tiba. Bu Jamilah mengundang Ilham dan ibunya ke rumahnya di jalan besar. Rumah itu luas, catnya putih bersih, ada taman kecil di depan dengan bunga yang tertata rapi. Begitu masuk, Ilham langsung merasa kikuk. Lantai keramik mengilap, sofa empuk, dan aroma wangi bunga melati memenuhi ruangan.

Lalu, Rara muncul dari balik pintu. Ia mengenakan blus putih lengan panjang dan rok panjang biru pastel. Rambut hitamnya tergerai rapi, wajahnya nyaris tanpa riasan tapi tetap memancarkan pesona. Ia tersenyum lembut.

> “Assalamualaikum, Mas Ilham. Ibu sering cerita tentang Mas.”



Ilham hampir lupa membalas salam. “Waalaikumussalam… eh, iya, saya juga sering dengar cerita tentang Rara.”

Mereka duduk berhadapan. Bu Jamilah dan Bu Nur mengawali percakapan dengan basa-basi, lalu meninggalkan mereka berdua untuk mengobrol. Awalnya, hanya keheningan canggung yang mengisi ruang.

> “Mas kerja di…?” tanya Rara, mencoba memulai.



> “Servis barang elektronik. Sederhana saja. Kalau ada kipas angin mati, TV rusak… ya, saya perbaiki,” jawab Ilham, agak malu.



Rara tersenyum, bukan senyum mengejek, tapi senyum yang justru membuat Ilham merasa diperhatikan. “Kerja yang jujur itu langka, Mas. Tidak semua orang bisa.”

Percakapan itu berjalan lambat, tapi hangat. Rara mendengarkan setiap jawaban Ilham, bahkan menertawakan satu-dua lelucon kecilnya. Ilham tak mengerti—apakah Rara benar-benar tertarik, atau hanya sopan?


---

Namun, kebahagiaan kecil itu tak bertahan lama. Ketika mereka hendak pulang, seorang pria masuk ke ruang tamu. Tinggi, tegap, mengenakan kemeja biru mahal. Wajahnya mirip Rara, hanya saja lebih tegas dan dingin.

> “Ini Mas Ilham ya?” tanyanya, sambil mengulurkan tangan.



Ilham menjabatnya. “Iya, saya.”

> “Saya Bayu, kakaknya Rara.” Senyumnya tipis, matanya meneliti Ilham dari atas sampai bawah, seperti sedang menilai barang di toko. “Kita nanti sempat ngobrol, ya.”



Nada suaranya ramah di permukaan, tapi Ilham menangkap sesuatu yang lain—sesuatu yang membuatnya merasa akan ada dinding besar di depan.

Dan memang benar. Sore itu, setelah Ilham pulang, Bayu bicara serius pada Rara di ruang makan.

> “Rara, kamu itu bisa dapat siapa pun. Lihat dia… kamu yakin mau serius sama orang seperti itu? Pekerjaan pas-pasan, masa depan nggak jelas.”



Rara menunduk. “Mas, aku cuma mau kenal dulu. Dia baik.”

> “Baik saja nggak cukup untuk bikin kamu bahagia.”



Perdebatan itu hanya awal dari badai yang akan datang. Bagi Ilham, ini adalah titik di mana ia sadar—jika ia ingin Rara, ia harus siap membuktikan dirinya bukan hanya lelaki pendek dari gang sempit.

Dan hari-hari setelah itu, hidupnya mulai berubah.