Bab 1: Malam Berdarah

Angin malam menyusup melalui celah-celah dinding papan rumah kayu itu, membawa aroma tanah basah dan daun pisang yang bergetar pelan di halaman. Bulan tampak pucat di langit, separuhnya tertutup awan tipis. Malam itu terasa terlalu sunyi bagi seorang bocah delapan tahun bernama Raka, seakan alam menahan napas menunggu sesuatu yang buruk datang.

Ia duduk di sudut kamar, menunggu ayahnya kembali dari sawah yang letaknya tak jauh di pinggir hutan. Sang ibu, Sari Seorang Ibu Muda Yang Masih 26 Tahun, Memiliki Paras Yang Cantik, Badan Ideal khas Gadis Desa dengan Kulit Putih Bersih, dan Menjadi salah satu Primadona Desa Yang mana banyak pemuda masih menggoda dan mengejar dia, Walau ia sudah bersuami dan mempunyai anak.

Ia tampak gelisah Saat itu. Wajahnya pucat, matanya bolak-balik menatap pintu rumah yang belum terkunci.

“Raka, jangan keluar, ya…,” bisiknya lirih.
Anak itu hanya mengangguk. Ia merasakan kegelisahan yang menular dari ibunya, tapi tak mengerti sepenuhnya apa yang sedang terjadi.

Suara langkah kaki berat tiba-tiba terdengar di depan rumah. Bukan satu, tapi beberapa. Kayu di teras berderit, diikuti suara tawa kasar yang memecah kesunyian malam.

“Assalamualaikum…,” terdengar suara berat dengan nada mengejek.

Sari mendekap Raka dengan erat. Pintu rumah pun terbuka sebelum ia sempat menjawab. Empat pria masuk begitu saja. Salah satunya adalah Surya, Pemuda desa sekaligus anak Tertua Kepala Desa. Matanya liar, membawa hawa mabuk. Di belakangnya, tiga pria lain yang sering terlihat bersama Surya : Rudi, Darto, dan Randi.

“Mana suamimu, Sari?” tanya Surya dengan senyum miring.
“Di… di sawah,” jawab Sari, suaranya gemetar.

Raka menahan napas. Ia bisa mencium bau arak dari jarak beberapa langkah. Salah satu dari mereka menyibak tirai kamar, melihat Raka yang meringkuk.
“Eh, ini anaknya… mirip bapaknya ya,” ujar Rudi sambil terkekeh.

Detik itu juga, suara langkah tergesa mendekat dari luar. Ayah Raka muncul di ambang pintu, napasnya terengah, membawa cangkul di pundak.
“Apa yang kalian lakukan di rumah saya!” teriaknya dengan marah.

Namun ia tak sempat berbuat banyak. Pukulan kayu dari Randi mendarat di bahunya, membuat cangkul terjatuh. Pertarungan singkat tak seimbang pun terjadi. Raka hanya bisa menutup mulut dengan tangan mungilnya, menahan jerit. Ayahnya dihajar bertubi-tubi, terjatuh di lantai papan yang berderit.

Teriakan Sari menggema di malam itu.
“Cukup! Jangan… jangan sakiti dia!”

Namun kata-katanya justru memancing tawa kasar.
Surya menunduk, menatap Sari dengan tatapan yang membuat darah Raka membeku.
“Kalau kau ingin suamimu selamat, kau ikuti saja kemauan kami,” ucapnya dingin.

Tangan kasar menarik Sari hingga ia terhuyung. Pakaian tidurnya kusut, sebagian bahunya terlihat di bawah sinar bulan yang menembus celah papan. Sari berusaha menahan, tapi kekuatan mereka terlalu besar.

Adegan itu menoreh luka seumur hidup bagi Raka. Dari kolong meja tempatnya bersembunyi, ia melihat ibunya dipaksa berbaring di lantai. Suara kayu berderit, helaan napas terputus, dan tangisan lirih ibunya menusuk telinga. Tubuh ayahnya yang terkapar di lantai tampak bergerak lemah, mencoba bangkit, tapi setiap kali mencoba ia ditendang hingga darah mengalir dari bibirnya.

Raka ingin berlari, ingin menolong, tapi tubuh kecilnya membeku. Air mata jatuh tanpa suara. Dunia malam terasa seperti menutup mata atas dosa yang terjadi di depan bocah polos itu.

Waktu terasa berjalan lambat. Setelah beberapa lama yang terasa seperti siksaan tanpa akhir, semuanya hening. Para pria itu pergi sambil meninggalkan ancaman:
“Jangan berani bicara sama siapa pun. Ini baru peringatan.”

Suara langkah mereka menjauh, meninggalkan rumah yang berantakan. Raka keluar dari persembunyian, lututnya gemetar. Ia mendekati ayahnya yang sudah tak bergerak.

“Bapak…” bisiknya, tapi tak ada jawaban.

Ibunya memeluknya erat sambil menangis tanpa suara. Malam itu, Raka tak lagi menjadi anak kecil yang sama. Malam itu menanamkan dendam yang akan tumbuh bersama dirinya.